Muhammad, the chosen one

Monday, February 14, 2011







In a time of darkness and greed
It is your light that we need
You came to teach us how to live
Muhmmad, ya Rasoola Allah

You were so caring and kind
Your soul was full of light
You are the best of mankind
Muhammad, khairu khalqi Allah

Chorus:
Sallou 'ala Rasooli Allah
Habibil Mustafa
Peace be upon the Messenger
The Chosen One

From luxury you turned away
And all night you would pray
Truthful in every word you say
Muhammad, ya Rasoola Allah

Your face was brighter than the sun
Your beauty equalled by none
You are Allah's Chosen One
Muhammad, khayru khalqi Allah

Chorus

I'll try to follow your way
And do my best to live my life
As you taught me
I pray to be close to you
On that day, and see you smile
When you see me

Pst:
let's us try our best to follow his way...
Muhammad SAW, our prophet...who never forget about us
the one who brought the brightest light to our soul 
the greatest 'hidayah' to our heart...
lead us to Jannah...
thank you ya Rasullullah...

penaJannah
...takkan berhenti menari!!!

Antara dua kisah~part2

Sunday, February 6, 2011

Al-Khansa bin Amru: Ummu Syuhada



KEILMUAN wanita ini dalam bidang syair terserlah pada zaman Jahiliah dan selepas dia masuk Islam. Dialah al-Khansa’, wanita Arab pertama yang mahir bersyair. Kalangan ahli sejarah sepakat bahawa sejarah tidak pernah mengenal wanita yang lebih mahir bersyair daripada al-Khansa’ sama ada sebelum mahupun sesudah beliau meninggal dunia pada 24 Hijrah di Badiyah, pada zaman awal pemerintahan Othman ibn ‘Affan.
Pada awalnya dia tidak pandai bersyair, dia hanya boleh melantunkan dua atau tiga bait saja. Namun pada zaman Jahiliah, tatkala saudara kandungnya yang bernama Muawiyah bin ‘Amru al-Sulami terbunuh, dia meratapi kematiannya dalam beberapa bait syair. Lalu menyusullah saudaranya yang terbunuh pula, namanya Shakhr.
Al-Khansa’ amat menyintai saudaranya yang satu ini, kerana dia amat penyabar, bersopan santun, dan penuh perhatian terhadap keluarga. Kematiannya menyebabkannya sangat terpukul, lalu muncullah bakat bersyairnya yang selama ini terpendam dan mulai melantunkan bait demi bait meratapi kematian saudaranya. Sejak itulah dia mulai banyak bersyair dan syairnya semakin indah.
Tatkala mendengar dakwah Islam, al-Khansa’ datang bersama kaumnya, Bani Sulaim, menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan keislaman mereka. Kalangan ahli sejarah menceritakan pernah satu ketika Rasulullah menyuruhnya melantunkan syair, kemudian kerana kagum kepada keindahan syairnya, baginda mengatakan: “Teruskan, tambah lagi syairnya, wahai Khansa’!”
Ketika Adi bin Hatim datang kepada Rasulullah SAW dia berkata kepada Nabi: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya di tengah-tengah kita ada orang yang paling pandai dalam syair, ada juga orang yang paling dermawan di antara manusia dan juga orang yang paling mahir dalam menunggang kuda." Kemudian Nabi bersabda: “Siapakah nama mereka?” Adi bin Hatim menjawab: “Adapun orang yang paling pandai bersyair adalah al-Qais bin Hajar, sedangkan yang paling dermawan ialah Hatim bin Sa’ad, dan yang paling mahir berkuda adalah Amru bin Ma’di Karib."
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak benar apa yang kamu katakan, wahai Adi. Adapun orang yang paling pandai dalam bersyair adalah Khansa’ binti Amru, dan orang yang paling dermawan adalah Muhammad (yakni Muhammad SAW) sedangkan orang yang paling mahir berkuda adalah Ali bin Abu Talib. Dengan keistimewaan ini, sudah dikumpulkan penyair dan ternyata tidak didapatkan seorang wanita yang lebih mahir mengenai syair daripada beliau."
Khansa’ yang nama sebenarnya Tamadur binti ’Amru al-Sulami juga memiliki kedudukan dan prestasi jihad yang tinggi dalam memperjuangkan Islam dan membela kebenaran. Beliau menyertai peperangan bersama Muslimin dan menyertai pasukan mereka yang memperoleh kemenangan.


Dalam sebuah riwayat disebutkan al-Khansa’ dan keempat-empat anaknya ikut serta dalam perang al-Qadisiyyah pada pada 16 Hijrah pada zaman khalifah Umar ibn al-Khattab. Menjelang malam pertama mereka di sana, al-Khansa’ berwasiat kepada mereka: “Wahai anak-anakku, kamu sudah masuk Islam dengan taat dan berhijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah SWT yang tiada Tuhan yang hak selain Dia. Kamu adalah anak daripada lelaki yang satu sebagai mana kamu juga anak daripada perempuan yang satu. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kamu, tidak pernah memalukan bapa saudara kamu, tidak pernah memalukan nenek moyang kamu… Kamu semua tahu betapa besar pahala yang Allah SWT siapkan bagi orang yang beriman ketika berjihad melawan orang kafir. Ketahuilah bahawa negeri akhirat yang kekal jauh lebih baik daripada negeri dunia yang fana. Allah Azza wa Jalla berfirman yang bermaksud: “Wahai orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkan kesabaranmu dan tetapkan persiapan (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.

“Andai kata esok kamu masih diberi kesihatan oleh Allah SWT, maka perangilah musuh kamu dengan gagah berani, mintalah kemenangan atas musuhmu dari Allah SWT. Apabila pertempuran mulai sengit dan api peperangan mulai menyala, terjunlah kamu ke jantung musuh, habiskan pemimpin mereka saat perang tengah berkecamuk, mudah-mudahan kamu meraih pampasan dan kemuliaan di negeri yang kekal dan penuh kenikmatan.” (Surah Ali Imran: 200).
Nasihat ini sudah membakar semangat keempat-empat anak al-Khansa’ dan pada akhirnya kesemua mereka mati syahid dalam peperangan melawan tentera Parsi pimpinan Rastum. Bagaimanapun, peperangan ini dimenangi oleh umat Islam di bawah pimpinan Saad ibn Abi Waqqas.
Sebelum pergi bertempur, mereka bersyair dengan penuh makna dan sangat berkesan. Sebagai contoh, anak kedua berkata: “Ibunda adalah wanita yang hebat dan tabah; pendapatnya sungguh tepat dan bijaksana. Dia perintahkan kita dengan penuh bijaksana; sebagai nasihat yang tulus bagi anaknya. Majulah tanpa hiraukan jumlah mereka dan raihlah kemenangan yang nyata; Atau kematian yang sungguh mulia di jannatul Firdaus yang kekal selamanya.”
Tatkala berita gugurnya keempat-empat anaknya tadi sampai telinga al-Khansa,’ dia hanya tabah sambil mengatakan: “Segala puji bagi Allah SWT yang memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap kepada-Nya agar mengumpulkanku bersama mereka dalam naungan rahmat-Nya.
Inilah antara kisah seorang ilmuwan wanita pada awal Islam yang mesti dijadikan motivasi bagi golongan wanita dan anak-anak mereka pada hari ini. 


p/s: Terdetik dibenakku, berapa ramai ibu seperti Khansa' pada zaman ini? Masih adakah ibu yang kuat, tabah dan cekal seperti Khansa'? Berapa ramai ibu yang merelakan anak-anaknya ke medan perang, berjihad, berjuang demi Islam yang mulia?

penaJannah
...takkan berhenti menari!!!

Antara dua kisah~part 1

Kisah Ka'ab bin Malik dalam Perang Tabuk
Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat tidak menyertai perang tersebut. Salah seorang di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.
“Aku sama sekali tidak pernah tidak mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah kerana kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasulullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahsiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam keadaan panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rancangannya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul fikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku dapat melakukannya kalau aku mahu!”
Akhirnya, aku terbawa oleh fikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul fikiranku untuk mengejar mereka, sementelah mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan betapa kecilnya diriku sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika beiau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”Rasulullah saw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada dalam fikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.
Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. /Demikian pula usai dari Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku, aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian berkata, “Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain, tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya. Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil disbanding tatkala aku mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat. Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinag. Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya, “Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kamu akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama. Aku langsung memerintahkan kepada istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah, yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami, hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)


p/s: agaknya kan..berapa ramai Ka'ab bin Malik di dunia masa kini?
penaJannah
...takkan berhenti menari!!!

 
penaJannah - Templates para novo blogger